Hukum Negara dan Hukum Adat: Dua
Kutub Yang Saling Menguatkan
Hukum adat berkembang
mengikuti perkembangan
masyarakat dan tradisi
rakyat yang ada.
Hukum adat merupakan endapan kesusilaan
dalam masyarakat yang
kebenarannya mendapatkan
pengakuan dalam masyarakat
tersebut. Dalam
perkembangannya, praktek yang
terjadi dalam masyarakat
hukum adat keberadaan hukum
adat sering menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan apakah aturan
hukum adat ini
tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari
masyarakat dan menyelesaikan suatu
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat. Sementara itu
negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh
badan atau lembaga
pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Antara hukum adat dengan hukum
negara mempunyai daya
pengikat yang berbeda
secara konstitusional
bersifat sama tetapi
terdapat perbedaan pada bentuk
dan aspeknya (Della Sri Wahyuni 2013).
Adat istiadat
pada hakikatnya sudah
ada pada zaman
kuno, yakni pra masuknya agama Hindu ke Indonesia. Pada waktu itu adat
yang berlaku adalah adat-adat Melayu–Polinesia. Lambat laun kultur Islam dan
Kristen juga mempengaruhi kultur asli.
Pengaruh kultur-kultur pendatang
tersebut di atas
adalah sangat besar
sehingga akhirnya kultur asli
yang sejak lama
menguasai tata kehidupan masyarakat Indonesia
itu tergeser, dan
adat yang berlaku
adalah merupakan akulturasi antara adat asli dengan adat yang dibawa
oleh agama Hindu, Islam
dan Kristen. Dengan
demikian dalam perkembangan hukum
adat pun di masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh ketiga agama tersebut di atas. Hukum adat merupakan hukum yang tumbuh
dari kesadaran masyarakat,
yang merupakan pencerminan dari
cita rasa dan
akal budi budaya
bangsa. Dalam perkembangan dan pembangunan di bidang
hukum, sering timbul pernyataan, apakah
dalam pembentukannya akan
menggunakan bahan-bahan
hukum adat, yang
merupakan hukum sendiri,
atau malahan menggunakan hukum dari luar (asing).
Setiap masyarakat di seluruh
dunia mempunyai tata hukum di dalam
wilayah negaranya. Tidak
ada suatu bangsa
yang tidak mempunyai tata
hukum nasionalnya. Hukum
nasional bangsa merupakan cerminan
dari kebudayaan bangsa
yang bersangkutan. Karena hukum
merupakan akal budi
bangsa dan tumbuh
dari kesadaran hukum bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan kebudayaan bangsa tersebut.
Ada sebagian para sarjana yang
meragukan tentang kemampuan hukum adat
untuk dijadikan dasar
atau landasan hukum nasional. Pendapat ini
didasarkan pada pendapat
dan argumentasi bahwa hukum adat adalah hukum kuno, dan
sering disebut hukum primitif, yang
hanya cocok untuk
digunakan pada masyarakat
yang terbelakang. Pendapat ini
menimbulkan konsekwensi bahwa hukum adat
tidak sesuai lagi
bilamana digunakan sebagai
hukum bagi masyarakat peradaban
modern. Apalagi jika diberlakukan pada era globalisasi saat ini, dimana
hubungan masyarakat antar negara tidak lagi ada pembatasan (Susylawati 2013).
Metode
Penelitian hukum ini
merupakan penelitian hukum
normatif yang dilakukan dengan
dengan cara meneliti
bahan pustaka dan disebut
juga penelitian hukum
kepustakaan. Spesifikasi Penelitian. Dalam penulisan
ini metode penelitian
yang digunakan bersifat deskriptif analitis, yaitu
berdasarkan kondisi yang ada sesuai data-data yang diperoleh
dalam penelitian, dihubungkan
dan dibandingkan dengan
teori-teori yang ada sesuai dengan penulisan ini.
Pembahasan dan Temuan Tentang Hukum Adat
Hukum Adat
adalah hukum yang
berlaku dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat di suatu
daerah. Ada beberapa pengertian mengenai
Hukum Adat. Menurut
Hardjito Notopuro Hukum Adat
adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman
kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata
keadilan dan kesejahteraan masyarakat
dan bersifat kekeluargaan. Menurut
Soepomo, Hukum Adat
adalah sinonim dari hukum tidak tertulis didalam peraturan legislatif,
hukum yang hidup sebagai
konvensi di badan-badan
negara (parleman, dewan Provinsi,
dan sebagainya), hukum
yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan dalam pergaulan hidup, baik di
kota mauun di
desa-desa. Sedangkan Menurut
Cornelis van Vollennhoven Hukum
Adat adalah himpunan
peraturan tentang perilaku bagi
orang pribumi dan
Timur Asing pada
satu pihak mempunyai
sanksi (karena bersifat
hukum), dan pada
pihak lain berada dalam keadaan tidak
dikodifikasikan (karena
adat) (C. Dewi Wulandari 2010).
Hukum adat
di Indonesia dikenal
sebagai perangkat hukum yang
beraneka ragam dengan
isi dan norma-norma
hukumnya. Kedudukan hukum adat
sejajar dengan hukum
Islam dan hukum warisan
Pemerintah Belanda yang
berlaku di Indonesia
(Thontowi 2013). Akan tetapi kenyataannya yang beragam itu adalah
perangkat hukum yang mengatur bidang kekeluargaan dan pewarisan. Hukum adat dan
masyarakat hukum adat yang mengatur tanah pada dasarnya ada keseragaman, karena
mewujudkan konsepsi, asas-asas hukum dan sistem pengaturan yang sama dengan
penguasaan yang tertinggi apa yang
dalam perundang-undangan dikenal
sebagai hak ulayat lembaga-lembaga hukumnya bisa berbeda
karena adanya keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan
sebutan-sebutan lembaga-lembaga hukumnya pun berbeda termasuk sebutan ulayatnya
sendiri, berbeda karena bahasa seempatnya berbeda (Tehupeiory 2019).
Di dalam
masyarakat kita, pengertian
hukum, adat masih simpang siur. Untuk lebih jelasnya,
maka perlu kiranya kita mengikuti beberapa
faham yang berkembang
dalam masyarakat tentang
apa hukum adat itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Moch Koesnoe,
sebagai berikut:
1)
Faham pertama, mengasosiasikan hukum
adat dengan hukum primitif. Hukum adat yang diartikan
sebagai demikian, menimbulkan suatu konsekuensi yakni adanya suatu pandangan
betapa tidak akan sesuainya hukum adat
untuk dipergunakan sebagai
hukum yang mengarah kepada
kehidupan yang modern.
Dalam pandangan ini hukum adat hanya sesuai dengan kehidupan
yang primitif.
2) Faham kedua,
melihat bahwa hukum adat sama
dengan hukum kebiasaan
(gewoonterecht atau customary law yakni hukum yang hidup dalam praktek
hukum sehari-hari dalam
bentuknya yang relatif konstan untuk sepanjang masa mengenai
persoalan-persoalan hukum yang terdapat di dijilam masyarakat yang bersangkutan.
Faham yang melihat hukum adat
sebagai demikian ini
membawa konsekuensi
pandangan, bahwa hukum
adat tidak berubah.
tidak mengikuti perkembangan masyarakat
dan tidak dapat
menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
3) Faham ketiga, melihat hukum
adat dalam arti sebagaimana diikuti oleh Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa
hukum adat adalah hukum yang mempunyai akibat hukum, kemudian van Vollebhoven
menegaskan lebih lanjut
dengan menyatakan bahwa
adat yang mempunyai sanksi, dan
kemudian Ter Haar lebih mempertegas untuk kepentingan penggarapan secara
yuridis.
4) Faham keempat, melihat hukum
adat bukan sebagai hukum yang hidup di
dalam masyarakat bangsa
kita sebagai hukum
yang merupakan milik bangsa,
karena lahir dari cita-cita budaya bangsa. Dalam pengertian ini, hukum
adat sebagai golongan-golongan dalam kalangan
rakyat Indonesia asli,
dikehendaki menjadi hukum
bagi bangsa Indonesia, artinya hukum nasional Indonesia.
Bertolak dari
keempat paham tersebut,
maka penulis merangkumnya dalam
suatu pendapat bahwa
hukum adat adalah hukum
Indonesia asli yang
tidak tertulis yang
bersumber dari kesadaran dan budaya bangsa
yang disana sini
mengandung unsur agama (Sri
Sudaryatmi 2012).
Dasar Hukum Berlakunya Hukum Adat di Indonesia
Perkembangan hukum
dan masyarakat Indonesia
berubah seiring dengan perkembangan
bukan saja tuntutan
sosial, budaya, ekonomi dan
politik, tetapi juga sistem hukum nasional turut berubah pula(Thontowi 2013).
Dasar hukum sah berlakunya hukum adat dalam batang tubuh UUD 1945, tidak
satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk
berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD
1945 Pasal II, yang berbunyi:
“Segala badan Negara
dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”. Aturan Peralihan Pasal
II ini menjadi dasar hukum
sah berlakunya hukum adat.
Dalam UUDS 1950
Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan
harus berisi alasan-alasannya dan dalam
perkara hukuman menyebut
aturan- aturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan
dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini
pelaksanaannya belum ada,
maka kembali ke Aturan
Peralihan UUD 1945 (Bewa
Ragawino 2018). Adanya
hukum adat sebagai fondasi penting dari suatu sistem
hukum pada hakikatnya merupakan kesatuan atau himpunan dari berbagai cita-cita
dan cara-cara manusia yang berusaha untuk mengatasi masalah nyata maupun
potensial yang timbul dari pergaulan
sehari-hari yang menyangkut
kedamaian masyarakat itu sendiri. Semakin kompleks susunan suatu
masyarakat semakin luas dan mendalam pengaruh hukum adat dalam mengatur
kehidupan manusia (Irenius Kidaman 2018).
Untuk
menjelaskan dasar hukum
berlakunya hukum adat
di Indonesia, idealnya kita
mengetahui dasar-dasar yuridis
tentang berlakunya hukum adat,
dari jaman kolonial
hingga pada masa berikutnya sampai
sekarang. Pada zaman kolonial Belanda sumber hukum yang pertama harus dilihat
adalah pasal 75 Regerings Reglement baru (yang disingkat R.R baru), yang berlaku
pada tanggal 1 Januari 1920, yang menyatakan
bahwa Hukum Eropa
akan berlaku bagi golongan Eropa berlaku Hukum Eropa dan
bagi orang Indonesia Asli, namun
menyatakan dengan sukarela bahwa ia akan
menundukkan diri hukum Eropa. Sedangkan dalam lapangan perdata bagi
golongan orang Indonesia yang lain, akan berlaku hukum adat dengan syarat tidak bertentangan dengan dasar-dasar
keadilan yang diakui umum. Sebaliknya
apabila peraturan hukum adat bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau
terdapat suatu masalah yang tidak diatur
dalam hukum adat, maka hakim wajib memakai dasar-dasar umum hukum perdata Eropa
sebagai pedoman. Pasal 75 RR tersebut dipertegas oleh pasal 130 IS yang
menyatakan bahwa daerah-daerah diberi kebebasan untuk menganut hukumnya sendiri
(Irenius Kidaman 2018).
Setelah Indonesia
merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945, sehari
berikutnya tanggal 18
Agustus 1945 ditetapkanlah
Undang-Undang Dasar 1945.
Dasar hukum berlakunya
hukum adat ketika jaman
penjajahan masuk ke
wilayah setelah Indonesia
merdeka melalui pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa segala
badan negara dan
peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang Dasar. Pada
awal-awal kemerdekaan muncul paham
yang hendak memperjuangkan terwujudnya hukum nasional dengan cara
mengangkat hukum rakyat,
yaitu hukum adat,
menjadi hukum nasional (Soetandyo
Wignjosoebroto 1995). Pelopor dari ide tersebut mayoritas adalah
golongan tua, suatu
ide yang sejak
awal dikemukakan oleh nasionalis-nasionalis generasi
sebelumnya, yang menyatakan bahwa
hukum adat layak
diangkat sebagai hukum nasional yang modern (R. Soepomo 2003).
Hukum adat
adalah sistem hukum
yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia lainnya
seperti Jepang, India,
dan Tiongkok. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan
hukum tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran
hukum masyarakatnya.
Peraturan-peraturan ini tidak
tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis (Abdullah 2016). Penegak hukum adat
adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya
dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera
(Mustaghfirin 2011).
Sistem Hukum Adat
Hukum adat
adalah sistem hukum
yang dikenal dalam lingkungan kehidupan
sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan
Tiongkok. Hukum adat merupakan nilai-nilai
yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat suatu daerah
(M. Saleh 2013).
Sebagian besar tidak
tertulis dan tumbuh kembang (M.
Saleh 2013), maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis (Abdullah 2016). Penegak hukum
adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar
pengaruhnya dalam lingkungan
masyarakat adat untuk
menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Hukum adat di
Indonesia terdiri dari berbagai
macam hukum adat, menurut
Puchta (1798-1846) murid
von Savigny hukum
adat yang semacam ini tidak dapat dijadikan hukum secara nasional hanya
sebagai keyakinan bagi masyarakatnya masing-masing, nilai-nilainya juga tidak
dapat dimasukkan di dalam sistem hukum nasional, keculai hukum adat
yang di miliki,
diyakini dan diamalkan
secara terus menerus oleh bangsa
atau masyarakat nasional dapat dijadikan hukum secara nasional setelah melalui
proses pengesahan di lembaga legislatif dan
atau eksekutif, dan
nilai-nilainya dapat dimasukkan
ke dalam sistem hukum nasional
(Mustaghfirin 2011).
Peran Hukum Adat dalam Membentuk Hukum Negara
Keberadaan hukum
adat dalam sistem
hukum nasional Indonesia mendapat
tempat penting dan
strategis. Hukum adat sebagai
bagian dari hukum
yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sudah
ada jauh sebelum
produk hukum kolonial diberlakukan di Indonesia atau
bahkan pada sejarah kolonialisme di
Indonesia. Dalam Seminar Hukum Nasional ke-6 Tahun 1994, dalam laporan mengenai
materi “Hukum Kebiasaan”, ditentukan: 1. Hukum kebiasaan mengandung dua
pandangan:
a. Dalam arti identik dengan
hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat.
b. Dalam arti kebiasaan yang
diakui masyarakat dan pengambil keputusan
(decision maker) sehingga
lambat laun menjadi hukum (gewoonte recht, customary
recht). Hukum kebiasaan ini bersifat
nasional dimulai sejak
proklamasi kemerdekaan, terutama
dalam bidang hukum tata Negara, hukum kontrak, hukum ekonomi dan sebagainya.
2. Hukum Kebiasaan merupakan
sumber hukum yang penting dalam kehidupan masyarakat (Hulman Panjaitan
2016). Hukum adat sebagai hukum asli
Indonesia merupakan hukum yang senantiasa mengikuti jiwa dari bangsa masyarakat
Indonesia, karena senantiasa tumbuh dan hidup dari kebudayaan masyarakat tempat hukum
adat itu berlaku. Dan hukum adat
merupakan salah satu penjelmaan dari kepribadian, jiwa dan struktur masyarakat/bangsa.
Hal ini sejalan dengan pendapat Von
Savigny3, yang menyatakan bahwa
isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat
istiadat dan isi hukum
ditentukan oleh sejarah masyarakat dimana hukum itu berlaku.
Sejak Indonesia merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang
bebas dan mandiri
baik dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Dan dengan disahkannya Undang-Undang Dasar
1945, negara Indonesia
mempunyai dasar-dasar tertib
hukum baru, yang
mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini nampak dari Ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960, yang menyatakan secara
tegas bahwa pembinaan
hukum Nasional haruslah memperhatikan
homogenitas hukum dengan
memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat dan harus
sesuai dengan haluan negara serta berlandaskan kepada hukum adat yang
tidak menghambat perkembangan
masyarakat. Dalam seminar Hukum
Adat Nasional pada tanggal 15–17 Januari 1975 yang diselenggarakan oleh Universitas
Gadjah Mada dan Badan Pembina Hukum Nasional, hukum adat
diartikan sebagai “hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
bentuk perundangundangan Republik Indonesia, yang
di sana sini
mengandung unsur-unsur agama”.
Di dalam seminar tersebut
dirumuskan tentang konsep
hukum adat dalam rangka
pembangunan hukum di
Indonesia, antara lain: Pertama, bahwa
pengambilan bahan-bahan dari
hukum adat pada dasarnya menggunakan konsepsi-konsepsi
dan asas-asas hukum dari hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma
hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat; kedua, penggunaan
lembaga-lembaga hukum adat dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan
zaman; ketiga, memasukan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam
lembaga-lembaga hukum baru (Hilman Hadikusuma 2003). Dengan demikian hukum adat masih relevan hingga saat ini karena keadilan dan
kebenaran yang merupakan
tujuan hukum, wajib merupakan kebenaran dan keadilan
yang mencerminkan kebenaran dan
keadilan yang hidup
di dalam hati
nurani rakyat. Apabila
di masyarakat ada sebagian yang berpendapat bahwa hukum adat sudah
mengalami perlunakan berlakunya
pada era modern
seperti ini, memang pendapat
tersebut ada benarnya.
Fakta ini didukung oleh kenyataan bahwa sistem hukum yang dipakai di
negara kita adalah sistem Eropa
Kontinental. Pada sistem
Eropa Kontinental, hukum tertulis (peraturan
perundang-undangan) lebih mempunyai
fungsi yang lebih besar
di dalam penyelenggaraan negara
maupun pengaturan masyarakat, jika dibandingkan dengan hukum yang tidak
tertulis. Dengan sistem Eropa Kontinental tersebut, hukum yang lebih
dominan adalah yang
tertulis, dan hukum
yang tidak tertulis (termasuk di dalamnya hukum adat)
disebut sebagai pelengkap saja. Akibatnya
selama suatu masalah telah diatur di
dalam perundang-undangan dan
ternyata isinya bertentangan/berbeda dengan hukum adat, maka secara yuridis
formal, yang berlaku adalah hukum tertulis.
Namun yang perlu diingat bahwa
dalam praktik di masyarakat terkadang
hukum tertulis tidak
selamanya sejalan dengan perkembangan di
masyarakat, sehingga aturan
yang tertulis tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah
yang ada dan terkadang tidak mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat.
Jika hal ini terjadi, maka berarti terjadi kesenjangan antara hukum tertulis
dengan hukum yang hidup di masyarakat. Pada kasus demikian, maka hukum tidak
tertulislah (hukum adat) nantinya yang akan menyelesaikan masalah
tersebut. Hal ini
nampak dari amanat
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 di atas,
yang memberikan keleluasaan
kepada hakim untuk memahami,
menggali dan mengikuti nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat. Dengan
demikian eksistensi hukum adat hingga saat ini tetap mempunyai
peranan yang penting,
terutama dalam pembentukan hukum
nasional yang akan
datang, terutama dalam lapangan hukum kekeluargaaan. Hukum
adat akan menjadi salah satu sumber utama dalam pembentukan hukum tertulis,
sehingga aturan tertulis tersebut otomatis
merupakan pencerminan dari
hukum masyarakat. Dan tentu
saja dengan harapan
ketika hukum tertulis tersebut sudah diberlakukan, dalam
praktik di masyarakat tidak terjadi lagi
kesenjangan dengan law in
action-nya. Peranan hakim
sebagai penemuan hukum sangat penting untuk
memperhatikan kesadaran
hukum yang hidup
dalam masyarakat (hukum
adat) sebagai pertimbangan dalam
memutus suatu sengketa,
dengan demikian yurisprudensi
merupakan salah satu sumber
pengenal hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kesimpulan
Hukum adat
sebagai hukum non
statutoir, sesuai dengan sifatnya akan
secara terus menerus
tumbuh dan berkembang
di masyarakat. Sebagai hukum
tradisional dan asli
hukum Indonesia, hukum adat
digolongkan sebagai hukum yang primitif, sehingga tidak jarang banyak
pihak yang meragukan
eksistensi dan pendayagunaannya pada
era modern seperti
saat ini. Pihak
yang meragukan tersebut
menyatakan bahwa hukum adat adalah
hukum yang tidak tertulis, sehingga jika dibandingkan dengan hukum yang
tertulis, hukum adat
dinilai tidak dapat
memberikan jaminan kepastian hukum.
Alasan lainnya adalah karena
pada era unifikasi hukum, sangatlah sulit memadukan
atau memilih hukum adat yang akan
dijadikan patokan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa hukum adat di tiap daerah di
Indonesia memiliki perbedaan.
Sedangkan pihak
yang lain, masih
mengakui eksistensi pentingnya
peran hukum adat pada era modern ini, mengingat bahwa tidak selamanya
hukum tertulis yang
berupa perundang-undangan,
dapat selalu mengikuti
perkembangan masyarakat. Ketika
terjadi kesenjangan seperti itu, maka peran hukum adat akan sangat
penting, dengan mengacu pada sifat hukum adat yang bersifat dinamis. Peran
penting lainnya, hukum adat sebagai hukum yang lahir, tumbuh dan berkembang di
masyarakat, adalah sebagai
sumber utama dari penyusunan dan perumusan aturan
perundang-undangan yang ada di indonesia hingga kini.
Sumber : DISINI
0 komentar:
Posting Komentar